Terakhir dan terimakasih

Wow.

terakhir sudah proyek menulis kami di rak cerita. seharusnya bukan dianggap sebagai beban, karena memang bukan beban. kami hanya dibentuk, dilatih, agar bisa menghasilkan karya minimal satu, setiap harinya. tidak pernah terpikir untuk menjadi sebuah beban, kami semua mengikuti kelas menulis, konsekuensinya adalah waktu kami akan terpakai untuk menulis, dan tugas ataupun proyek tambahan ini, hanya satu dari sebagian kecil saja kenyataan yang akan kami hadapi kedepannya. (bahahahaha, aku nulis apaan coba ini)

Terimakasih selama satu bulan ini aku persembahkan untuk sang pacar yang setia menemani via Line, Whats App, ataupun sms, yang hanya mengingatkanku akan deadline yang harus aku penuhi. terimakasih buat Bentar yang terkadang selalu kurepotkan karena jaringan internetku tidak secanggih punyanya, dan dengan baik hati meladeni bisikan-bisikan atau kode-kode atau lirikan-lirikanku saat kelas, hahaha. terimakasih buat adik-adikku, mira, inas, rina, atas beberrapa kontribusinya dalam memberiku ilham dan ide-ide jenius. terimakasih buat kucing kesayanganku, Pippo, yang mengizinkanku menulis cerita-ceritanya dan memakai namanya. terimakasih buat Shiro dan Emily, laptop dan ipadku, yang telah berjasa besar membantuku menuliskan tulisanku. terimakasih buat para angels (norak, iya emang saya dan teman-teman saya norak) yang mengizinkan memakai nama mereka dengan perubahan sedikit, dan atas bantuan serta dukungan dan energi postif dari mereka. terimakasih buat Mas Udin yang terhormat, terimakasih atas kesempatannya, mas! (semoga kamu baca ya mas). terimakasih juga buat Mas Imam atas bimbingannya selama ini. terimakasih buat teman-teman kelas menulis! Gembiz yang jarang ngomong tapi sekali ngomong makjleb dan amazing, Mbak Lia yang selalu meramaikan suasana dan jago banget ngomongnya, Nana yang cantik dan tampak rapuh (?) tapi ternyata hebat banget, Anggie si hebat dan jago (ajarkan kami, nggi!), Azzam yang berwawasan sangat-sangat luas, Rayhana yang punya cerita unik dan mengejutkan, Meyta yang super sibuk dan kritis, aduh, terimakasih banyak teman-teman, kalian semua keren. terimakasih buat mbak (atau mas?) nitemare yang menyempatkan diri mampir ke blog kami dan mengomentari semua hal-hal penting, terimakasiiiiih. terimakasih untuk pengarang-pengarang kesukaanku, ah, tanpa kalian aku tidak punya niat untuk menulis dan membaca, terimakasih atas magic yang kalian berikan padaku. dan terimakasih untuk semua pihak yang telah memberikan kontribusinya baik langsung maupun tidak langsung padaku.

Astaga.

terlalu berlebihan? ah, biarkan saja, toh ini blog saya. ini tidak boleh dan tidak akan berhenti sampai sini saja. (aku harus banyak-banyak mempelajari tentang bahasa indonesia.)

“menulis lah.” – Mas Udin

-A-

Greifswald (part 2)

Aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Walaupun udara sangat dingin, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin lupa. Lupa dengan apa yang kulihat barusan. Jonathan dan Alla. Aku mengutuk diriku sendiri, mengapa aku harus mampir dan berbelanja di mini market di dekat apartemen Ari, sih. Dan mengapa juga Tuhan membiarkanku bertemu dengan mereka. Menyebalkan. Semakin aku mengingatnya, semakin cepat aku melaju. Berkali-kali aku membunyikan bel sepedaku agar beberapa pejalan kaki yang melewati jalan sepeda menyingkir. Berkali-kali juga aku mengucapkan “Entschuldigung6 kepada mereka yang hampir tersenggol sepedaku. Kalau begini terus aku bisa-bisa disusul oleh polisi, batinku. Ketika berada di perempatan, aku turun dari sepedak dan menetralkan nafasku sejenak sebelum menekan tombol untuk menyeberang. Padahal cuaca dingin begini, aku sampai berkeringat karena mengebut tadi. Aku harus menempuh lima belas menit lagi untuk sampai di apartemenku. Kalau ada waktu libur aku akan ke Berlin, mengurus tentang apartemen. Terlalu jauh untuk sampai ke kampus, membuang waktuku saja. Seorang pejalan kaki menekan tombol menyebrang, aku memutuskan untuk menuntun sepedaku saja, menikmati pemandangan dan menyegarkan pikiranku.

Sesampainya di apartemenku, aku membuka pintu utama dan kemudan memasukkan sepedaku. Kutuntun ke belakang, tempat penyimpanan barang-barang, semacam gudang penyimpanan yang terdiri dari sel-sel yang terbuat dari kayu. Aku menaruh sepedaku di selku dan menguncinya lagi. Akhirnya sampai juga. Aku mengunci pintu penyimpanan dan melangkahkan kaki menuju tangga. Masih panjang, perjalananku. Tidak ada lift, dan aku berada di lantai paling atas, lantai 5. Lumayan. Kalau sudah musim panas, aku yang tidak kuat. Beberapa tetangga apartemenku keluar dan menyapaku. Setelah sampai di lantai paling atas, aku menuju apartemenku yang paling pojok. Begitu membuka pintu apartemenku, terdengar suara-suara dari dalam. Aku menutup pintu dan melepaskan jaket dan sepatuku, kemudian menuju ke asal suara tersebut. Ada Alice dan Dominique yang sedang menonton film.

Hallo.8” sapaku.

“Ah, Gina. Hallo.” Sapa Dominique. Alice hanya melambai padaku. Aku tersenyum dan melewati mereka, menuju dapur. Alice dan Dominique adalah teman sekamarku. Apartemenku ini kecil, jadi hanya bisa menampung tiga orang saja. Padahal dari luar komplek apartemenku ini sangat bagus, berbeda jauh dengan Ari. Tetapi, malah lebih luas apartemen Ari, walaupun dari luar, apartemen Ari terlihat kumuh. Aku memasukkan susu di kulkas, sementara sereal dan roti gandum kutaruh di atas meja makan. Terdengar suara tawa Alice dan Dominique. Aku keluar dari dapur dan berjalan menuju sofa disamping kursi santai mereka.

Kommen Sie heute?7” tanyaku sambil membaringkan diri di sofa.

Partei?8” Tanya Alice memastikan. Aku mengangguk lemah.

“Ja.” Jawab Dominique. Aku hendak berbicara mengenai pesta nanti, tapi aku begitu lelah dan memutuskan untuk tidur. Padahal penghangat ruangan sudah menyala, tapi aku masih saja kedinginan.

Aku terbangun ketika teleponku bordering. Ari.

“Ya?” tanyaku dengan suara parau.

“Bukan ya. Kamu dimana?” tanyanya. Aku melihat jam dinding. Sudah jam lima sore.

“Apartemen. Capai, Ri.” Jawabku singkat. Alice dan Dominique sudah mematikan televisi.

“Kalau gitu, kamu ikut mobil band Jona aja ya.” Saran Ari. Aku mendengus.

“Jan tidak bisa mampir kesini?” tanyaku iseng.

“Bodoh. Apartemen Jan ada di sekitar marktplatz dan kamu ingin dia jemput kamu? Nein.9” kata Ari jengkel.

“Ya. Aku naik bis aja deh. Tapi agak lama ya, Ri. Aku beres-beres barang dulu.” Ujarku menyerah.

“Naik bis? Beres-beres? Bisa jam enam atau setengah tujuh kamu sampai sini.” Kata Ari kesal.

“Ah. Tidak apa-apa kan? Toh juga Jan akan menjemput kita jam tujuh. Kalau aku terlambat, ya biarlah. Aku akan mengerjakan tugas saja.” Ancamku. Ari menghela nafas.

“Baiklah, baiklah. Aku tunggu. Bergegaslah. Mach’s gut10.” ucap Ari. Aku menekan tombol off. Perjalananku masih panjang, batinku. Aku pergi ke kamarku dan menyiapkan barang yang akan kubawa ke tempat Ari. Alice dan Dominique pergi kuliah. Padahal aku kan punya ide untuk pergi bersama naik taksi. Kujejalkan barang-barangku dalam tas ransel. Kemudian aku bergegas ke kamar mandi.

Menunggu bis adalah persoalan lain lagi, selain membutuhkan ketelitian akan alamat yang dituju bisnya, aku juga harus menghafal nama jalan, belum lagi kesabaran yang luar biasa. Padahal apartemenku ini berada diantara apartemen-apartemen lain, maksudku, ini tampak seperti komplek apartemen, hanya saja apartemenku berada di paling pojok kota. Dekat pantai malah. Kalau saat ada pesta di pantai, atau pelabuhan, dulu aku yang paling semangat datang. Selain dekat, aku bisa melewati apartemen Jona dan mampir. Aku menyadari kebodohanku sendiri, untuk apa aku mengingat-ingat dia. Aku mengamati rintikkan-rintikkan hujan yang jatuh. Beruntung aku memilih naik bis daripada sepeda sore ini. Hujan turun makin deras, padahal jarak antara apartemen Ari dan halte bis lumayan jauh. Aku mengetik pesan ke Ari dengan cepat, minta dijemput di halte. Beberapa orang yang menunggu bis juga bolak-balik duduk dan berdiri, menanti bis yang tidak kunjung datang. Beruntung mereka bersama teman dan pasangan. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Ari, ‘Ja.’ bunyinya. Aku menaruh posnelku ke dalam jaket. Sebuah bis dari ujung jalan terlihat. Ah, bisku sudah datang. Aku memasukkan beberapa uang koin ke sebuah tempat di dekat supir. Aku tidak pernah membeli tiket terusan, karena jarang sekali aku naik bis. Aku mencari kursi yang kosong dan kemudian mendudukinya. Mungkin karena itulah jarang bis ke arah apartemenku, karena tidak banyak orang yang naik bis. Aku memasang headset di telingaku dan mulai mendengarkan lagu dari ponselku. Kalau mau ke apartemen Ari, masih harus memutar di halte di dekat pantai. Hujan semakin deras. Mungkin ide yang bagus untuk memanaskan diri di pesta nanti malam, pikirku. Aku tersentak ketika seseorang berteriak sangat nyaring, dan supir bisku menginjak pedal rem dengan mendadak. Aku terpental ke kursi di depanku, bisku terguling ke kanan dan kiri. Kepalaku terantuk kursi, hal terakhir yang kuingat adalah suara teriakan dan bunyi nyaring dari arah luar.

6. Entschuldigung : maaf
7. Kommen Sie heute?: Apa kalian datang nanti?
8. Partei : pesta
9. Nein : tidak
10. Mach’s gut : hati-hati ya

Midnight Sale

Yudha memacu mobilnya dengan cepat. Berkali-kali dia menekan klakson mobil dan membuat beberapa pengendara motor marah dan memelototinya. Yudah cuek saja dan malah mengencangkan suara radio di dalam mobil. Aku melirik sekilas ke jam yang ada di radio. Jam Sembilan malam. Midnight sale sudah dimulai dari dua jam yang lalu, sementara kita masih berada kira-kira tujuh kilometer lagi. Belum lagi ini hari sabtu, malam minggu, dan juga hari liburan. Jogja masih sangat ramai dipadati kendaraan bermotor yang lalu lalang. Berkali-kali juga beberapa makian dari mulut Yudha terlontar. Mau marah bagaimana juga tidak akan membawa kita menjadi lebih cepat sampai, batinku. Aku tidak berani melawan kakakku satu-satunya itu. Selain dia bisa menurunkanku di tengah jalan, hidup matiku pun bergantung padanya, liburan di Jogja ini adalah ide orangtuaku, dan mereka memberikan uang sakuku pada Yudha. Ah. Aku melipat kedua tanganku dan berusaha menikmati jalanan Jogja yang padat dan diiringi oleh musik dari radio.

Bunyi klakson saling bersahut-sautan. Baik dari motor ataupun dari mobil. Yudha mungkin akhirnya kecapaian sendiri dan akhirnya hanya diam saja.

“Masih berama lama lagi memang, Bang?” tanyaku.

“Kamu tahu, harusnya dari rumah itu cuma lima belas menit saja.” Jawab Yudha emosi. Sebenarnya bukan itu yang aku tanyakan, tapi yah, kurasa kita sudah memakan waktu cukup lama.

“Sebenarnya, seberapa penting sih yang mau abang beli disana?” tanyaku penasaran. Yudha mengangkat bahu.

“Temen abang bilang tadi kalau harganya benar-benar setengahnya. Bahkan ada yang kurang dari setengahnya. Nanti jam sepuluh sampai jam sebelas ada lelang.” Jelas Yudha. Aku mengernyitkan dahiku. Aku mengira dia akan membeli beberapa barang yang memang penting. Dasar.

“Tapi bang, kalau nggak penting-penting banget kan…..” aku memutus kata-kataku. Yudha menatapku tajam.

“Semua disana penting, Va. Mungkin suatu hari nanti akan digunakan.” Ucap Yudha membela diri. Aku mengalah dan mengangguk, walaupun sebenarnya aku tahu, barang-barang yang akan Yudha beli tidak terlalu penting untuknya.

“Iya bang.” Responku singkat. Daerah UGM sudah tidak terlalu macet, aku menguap lebar. Sebenarnya aku ingin istirahat, karena masih panjang waktu liburanku disini. Tapi Yudha memaksaku untuk ikut dengannya, masih sore, katanya.

“Nah. Kalau dari sini sih biasanya lima menit sudah sampai, Va. Tapi kalau macet ntar disana, paling dua puluh menit.” Jelas Yudha. Aku hanya mengangguk-angguk sok mengerti. Terserah saja lah, yang terpenting ini bisa cepat selesai dan pulang, pikirku.

 

Jalanan di depan bundaran UGM ini sempit, hanya cukup untuk dua mobil. Sementara sebagian jalannya dipakai untuk memarkir kendaraan-kendaraan yang tidak hanya datang untuk ke midnight sale, tetapi juga ke kafe-kafe di sekitarnya. Tidak terkecuali warung-warung pinggir jalan. Aku menguap lagi, aku sudah sangat mengantuk. Tangan kiri Yudha menunjuk ke sebleah kiriku. Aku membelalakkan mataku. Sudah hampir jam sepuluh tapi orang-orang masih saja ramai. Semuanya berlomba-lomba mendapakan barang-barang murah. Aku menghela nafas. Berarti kita juga akan seperti itu. Beberpaa keluarga, pasangan, rombongan, terlihat keluar dari tempat midnight sale tersebut sambil membawa berbungkus-bungkus, dan berkotak-kotak belanjaan. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Tukang parkir meniupkan peluitnya nyaring-nyaring, memandakan ada parkiran kosong. Dengan sigap Yudha memberi sign ke kiri. Tukang parkir tadi semangat memarkirkan mobil kami. Setelah selesai berkutat dengan parkiran, Yudha mengeluarkan dompetnya dari dalam tasnya dan menaruhnya dikantung belakang sebelah kanan di celananya. Handphonenya ditaruh di saku depan sebelah kanan. Aku menguncir rambutku agar nanti bisa leluasa. Yudha memgang tanganku ketika kami berjalan di trotoar.

“Bang, pelan aja lah.” Kataku yang tersandung-sandung karena cepatnya Yudha berjala.

“Keburu habis, Va.” Katanya singkat. Aku merengut. Menyebalkan. Teman-teman abangku sudah berada di luar dan membawa beberapa kardus laptop. Mereka saling membanggakan hasil tangkapan mereka hari ini. Abangku menarikku ke dalam. Aku mengangguk memberi salam pada teman-temannya. Mereka melambai dan berteriak semoga beruntung. Begitu berhasil melewati rintangan penuh orang pertama, aku mengambil air putih yang disediakan panitia. Yudha melirikku dengan kesal.

“Bang, penuh gini.” Alasanku. Yudha hanya mnghela nafas dan menarikku lagi. Tapi, rintangan di dalam lebih menyeramkan. Dengan cepat tanganku terlepas dengan tangan Yudha. Aku berjinjit-jinjit daan menahan tabrakkan dari orang-orang, mencari Yudha. Akhirnya aku menyerah dan menunggunya di pintu masuk tadi. Beberpa orang bersandar juga, kelelahan. Panas, bau tidak sedap, pengap, penuh orang, ah, aku benci tempat-tempat seperti ini. Belum lagi para panitia heboh menjajakan jualan mereka, orang-orang pun berlomba-lomba sampai disana paling duluan. Lelang sudah dimulai, kudengar suara Yudha beberapa kali. Ada juga anak yang hilang dari orang tuanya, sedang menangis. Aku menaiki anak tangga didekatku dan dari situ aku bisa melihat lumayan jelas. Lalu kemudian ada pengumuman bahwa teman Bapak Suharto, yaitu Bapak Rizal diharapkan mendatangi Pak Suharto di dekat informasi. Minumanku sudah hampir habis. Lelang masih terus berlanjut. Beberapa orang menyerah dan akhirnya pulang. Tetapi tidak sebanding dengan orang yang masuk.

Akhirnya, setelah lelang dihentikan karena sudah melewati batas waktu, para panitia memutuskan Yudha lah pemenangnya. Aku melihat abangku itu berjalan menuju kasir sambil membawa beberapa kertas dengan penuh semangat. Lima menit Yudha berada di kasir tapi dia terlihat kebingungan. Aku mencari celah agar bisa masuk, dan kuputuskan untuk menyusulnya kesana. Sesampainya di kasir, beberapa panitia mengerubungi Yudha.

“Abang, kenapa?” tanyaku agak nyaring, sehingga Yudha bisa melihatku. Mukanya pucat dan berkeringat. Kaos yang dipakinya sudah basah oleh keringat.

“Dompet abang hilang, Va.” Ucapnya. Beberpa apanitia berusaha membantunya mencari. Aku terdiam. Ini salah satu konsekuensinya, kalau ramai danpadat seperti ini pasti ada pencuri. Panitia memanggil polisi yang bertugas. Abangku lemas dan dibopong kepinggir. Yudha merespon dengan lemah akan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Hidupku selama di Jogja, hilang sudah, pikirku. Polisi yang berjaga meyakinkan kami untuk terus berpikiran positif dan memintaku menelepon untuk melaporkan kehilangan ATM dan kartu kredit. Yudha menekan kepalanya, kesal. Sebenarnya yang kami permaslaahkan bukanlah kehilangan dompet, tapi lebih pada omelan yang akan diberikan oleh orangtua kami nanti. Midnight sale membawa petaka, batinku.

Jangan Aisyah, Tuhan.

Dering ponselku membuyarkan fokusku yang sedang bermain playstation. Aku segera menekan tombol ‘pause’ dan menaruh stikku di lantai. Adi mengeluh kesal.

“Gas! Kamu kan belum out!” ujarnya. Aku tidak mempedulikannya dan berjalan menuju kamarku, melihat siapa yang menelepon. Aku menghela nafas panjang, Aisyah. Belum sempat kuangkat, ponselku udah berhenti bordering. Ya sudahlah. Ketika hendak keluar kamar, ponselku berdering kembali. Masih dari Aisyah. Aku menekan tombol volume di ponselku, mengecilkannya. Kulempar ponselku diatas tempat tidur dan kututup pintu kamarku.

“Nggak diangkat, Gas?” Tanya Adi yang sekarang malah asik mengunyah kacang. Aku menggeleng.

“Aisyah?” tanyanya lagi penasaran. Aku mengangguk dan mengambil kacang dan duduk disampingnya.

“Kamu marahan?” tanyanya semakin penasaran.

“Nggak. Biasa saja. Ah. Ayo main lagi.” Ujarku sambil mengambil stikku dan menekan tombol ‘pause’ lagi. Adi yang lagi asik bersantai kalang kabut dan mengambil stiknya.

“Ah, curang kamu, Gas!” katanya mengomel. Aku hanya tertawa dan melanjutkan perrmainan kami.

 

Suara tawa Bobi dan Faisal menggema di kedai tempat biasa kami berkumpul. Kepulan asap rokok dicampur shisa menyelimuti kami. Kedai ini akan menjadi sangat ramai jika sudah berada diatas jam dua belas. Beberapa gadis berpakaian minim yang menjajakan dagangan mereka, yaitu rokok, sempat menjadi bahan godaan Bobi dan Faisal. Beberapa server yang bolak-balik dipanggil oleh hampir semua pengunjung pun tak luput dari kejahilan mereka berdua. Teman-temanku ini memang jagonya usil, kasar, tetapi mereka tetap memiliki sisi baik.

“Gas, tumben kamu nggak bolak balik mengeluarkan ponsel.” Sindir Bobi. Aku hanya tersenyum kecut.

“Marahan kayaknya, Bob.” Timpal Adi. Aku menyenggol kakinya dengan keras.

“Itu gadis rokok tadi boleh juga kok, Gas.” Kata Bobi. Aku meneguk cokelat hangatku. Faisal yang sedang asik menghirup shisa belum berkomentar apa-apa.

“Masa dari gadis alim kayak Aisyah gitu jadi gadis rokok sih, Bob.” Ucap Adi.

“Loh, jadi maksud kamu gadis rokok itu nggak alim? Kamu tahu darimana memangnya? Kamu kenal mereka? Kamu pernah nongkrong bareng mereka?” cecar Bobi. Adi mengernyitkan dahi, bingung mau menjawab apa.

“Ya nggak sih, Bob. Maksudku kan, yah, pakaian Aisyah nggak seminim mereka, walaupun Aisyah juga nggak berjilbab. Kamu sendiri juga yang bilang, beberapa dari mereka biasanya mau dibayar lebih buat… tahulah.” Adi menyangkal pertanyaan Bobi. Aku hanya tertawa kecil mendengarkan pembicaraan mereka. bobi mengeluarkan asap rokoknya dari mulutnya.

Have sex maksud kamu? Ah, biasa sekarang lah. Kalau pintar kita milih sih, ya nggak dapet zonk. Eh tapi si Bagas ini juga nggak cocok deh sama mereka. Dia aja deketin si Aisyah lama banget.” Sindir Bobi lagi. Adi tertawa terbahak-bahak. Aku berpura-pura tidak mendengarnya.

“Gas. Hubungan jarak jauh memang nggak ada yang gampang. Tapi kalau dia memang layak, jangan disia-siakan lah. Apalagi kayak Aisyah gitu.” Faisal tiba-tiba angkat bicara setelah berkali-kali sibuk menghirup shisanya.

“Gila kamu, Sal. Dari tadi sibuk sama shisa omongan jadi bagus banget. Mabuk ya?” sindir Bobi. Faisal tertawa terbahak-bahak, diiringi tawa Adi. Aku melihat pnselku. Ada banyak panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan masuk. Aku melihat pesan paling atas, dari Aisyah. ‘Besok aku ke Jogja. Jam enam lima puluh lima sampai.’ Aku tercengang. Suara bising di kedai sudah tidak kupedulikan lagi, pikiranku melayang pada Aisyah dan pada ucapan Faisal. Layakkah dia dipertahankan?

 

Alarmku berbunyi nyaring, ketika waktu subuh. Biasanya Aisyah akan meneleponku. Tapi beberapa hari ini karena keegoisan kita masing-masing, kita berdua jadi membatasi hubungan. Gengsi didahulukan. Aku mematikan alarmku dan berguling kea rah berlawanan. Malas rasanya, dan ngantuk. Aku, Adi, Bobi dan Faisal baru pulang jam tiga pagi. Membicarakan hal yang nggak jelas. Menggoda beberapa gadis rokok yang tidak henti-hentinya menawari kami rokok. Menggoda server-server yang sibuk tanpa henti. Aku berguling kea rah berlawanan. Setan memang paling banyak kalau subuh, batinku. Dengan malas aku berdiri dan keluar kamar. Kugedor kamar Adi yang tepat berada disebelah kamarku. Kubuka pintu kamarnya dan menyalakan lampunya. Adi mengerang dan menyipitkan matanya.

“Brengsek. Matiin, Gas!” ucapnya sambil menutup wajahnya dengan guling.

“Subuh, Di!” kataku sambil menarik gulingnya.

“Duluan sana.” Kata Adi menyerah. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka, menggososk gigi dan berwudhu. Selesai, aku melihat Adi yang sudah kembali tidur. Kupercikkan air yang masih ada di tanganku. Adi mengerang lagi dan melemparku dengan guling. Kemudian dia berdiri dan menuju kamar mandi.

Selesai sholat, Adi kembali ke kamarnya. Aku melihat ponselku, ada pesan dari Aisyah. ‘Aku sudah di ruang tunggu bandara.’. Dia memang tidak menyuruhku untuk menjemputnya sih, dia hanya memberiku kabar. Tetapi kan tetap saja, teman akrab Aisyah juga tidak banyak di Jogja. Aku menghela nafas dan melihat jam, masih jam setengah enam pagi. Perjalanan dari rumahku ke bandara kalau naik motor hanya memakan waktu lima belas sampai dua puluh menit. Belum lagi ini masih pagi, belum terlalu ramai. Aku melepas sarung dan merapikan alat sholatku kemudian membaringkan tubuhku di tempat tidur. Sebentar saja, batinku.

Ponselku bordering ketika jam setengah tujuh. Kutekan tombol ‘off’ dan terjaga dari tidurku. Aku berganti baju dan segera keluar dari kamar, menuju garasi. Jalanan masih belum padat memang. Paling-paling hanya anak sekolah saja yang diantar oleh orangtuanya. Aku sampai di bandara sepuluh menit sebelum pesawat Aisyah datang. Kukeluarkan rokok dikantong jaketku dan menyalakannya. Aisyah memang tidak pernah melarangku untuk merokok, tapi aku jarang merokok didepannya, sungkan. Kuperhatikan orang-orang berlalu-lalang di depanku. Beberapa tampak bahagia karena mungkin orang yang disayanginya sudah tiba, beberpa tampak murung karena mungkin orang yang disayanginya akan meninggalkannya, beberapa lagi tampak kurang tidur, mungkin karena harus menyetir berjam-jam tanpa henti. Kulirik jam tanganku, seharusnya sudah mendarat. Tahu-tahu saja aku mendengar dentuman keras dari arah bandara. Beberapa petugas dengan terburu-buru masuk ke dalam bandara. Jantungku berdegup kencang. Beberapa orang penasaran dan berlari menuju anjungan. Aku hanya duduk dan mengisap rokokku. Setelah beberapa menit kemudian ada orang berteriak “pesawat jatuh!”. Badanku seketika melemas. Rokokku sudah habis. Aku menyalakan sebatang lagi. Tenang, Bagas, batinku. Kemudian, ada pemberitahuan, pesawat Lion Air penerbangan dari Jakarta mengalami kecelakaan saat pendaratan. Pesawat terbelah menjadi dua, ada banyak penumpang yang tidak selamat. Aisyah. Aisyah. Aisyah. Hanya nama dan wajah Aisyah yang berada dalam pikiranku. Aku menghisap rokokku dalam-dalam. Tidak, tidak boleh Aisyah, Tuhan. Jangan Aisyah. Aku belum mendengar suaranya. Aku belum memegang tangannya. Aku belum membelai rambutnya. Aku belum mencubit pipinya. Aku belum menggodanya. Aku belum melakukan hal-hal yang selalu kulakukan selama seminggu ini. Aku mengeluarkan asap rokok dari mulutku. Jangan Aisyah, Tuhan.

Dua puluh tiga

Aku hampir tertidur ketika menerima pesanmu yang berbunyi ‘sayang, aku ada di luar.’. Setengah sadar aku menarik kakiku ke arah jendela di dekat meja berisikan buku-bukuku. Aku menyibak sedikit tirai di jendela, dan melihatmu menyunggingkan senyuman ke arahku dari bawah sana. Aku memberimu isyarat ‘aku turun’. Kamu mengangguk dan memberiku dua buah jempol, dan sebatang rokok bertengger di mulutmu. Sambil menyisir rambutku dengan tangan, aku mencari karet kuncirku. Ah, found it. Aku mengikat rambutku dan kemudian membuka pintu kamarku. Ketika menuruni tangga, kulihat lampu ruang tengah sudah dimatikan. Kutekan tombolnya ketika aku melewatinya dan membuka pintu depan. Kamu masih disana menyunggingkan senyum dan berkata “too late?”. Aku menggelengkan kepalaku dan berjalan ke arahmu. Angin malam begitu dingin menusuk badanku yang hanya dibalut piyama biru kesukaanku. Ketika sudah sampai dihadapanmu, aku memelukmu dengan erat dan menenggelamkan kepalaku didadamu. “Tell me it is not a dream.” kataku sambil menatap matamu yang cokelat. Kamu hanya tersenyum. “selamat ulang tahun ke dua puluh tiga, Kei.” ucapmu sambil mengecup keningku. Ah, I got butterflies in my stomach. Aku memelukmu makin erat, dan kamu berbisik “be happy, Kei.” dan kemudian kamu menghilang. Semua tiba-tiba menjadi gelap. Aku mencarimu, mencari mata cokelatmu yang memancarkan sinar, mencari suaramu yang meneduhkan, mencari senyuman yang menyejukkan, mencari tanganmu yang memegang sebatang rokok yang hampir habis, tapi yang ada hanyalah hitam, gelap. Aku berlari meneriakkan namamu, tapi hanya langkah kakiku yang terdengar. Aku kehabisan nafas. Aku kebingungan. Aku lelah. Dan kemudian, aku berhenti. Aku terdiam, dan terduduk di ruangan serba hitam itu. Aku menangis sesengukan. Tapi aku kemudian mendengar suara. Bukan suaramu, suara yang nyaring dan keras, bunyi apa ini? Makin lama makin nyaring dan…. Aku terbangun. Aku melihat sekelilingku. Aku di dalam kamarku. Aku memakai piyama biruku. Aku melompat turun dari tempat tidur dan menuju jendelaku. Tidak ada apa-apa disana. Tidak ada kamu. Tidak ada senyummu. Tidak ada rokokmu. Tidak ada jempolmu. Aku menghela nafas dan meminum air putih yang berada di atas mejaku yang masih penuh buku. Aku berjalan kembali ke arah tempat tidurku dengan lemas. Aku melirik ke arah pigura di atas meja kecil di samping tempat tidurku. Aku mengambilnya dan berkata “Curang. Lagi-lagi kamu pergi tiba-tiba, Adam.”. Aku mencium bingkai foto itu. Dan menaruhnya lagi di tempatnya tadi. Kutarik selimut sampai menutupi wajahku dan berbisik pada diriku sendiri, “selamat dua puluh tiga tahun Keisha”. Kemudian aku memejamkan mataku dan sedikit berharap akan bertemu Adam lagi.

Aku mendengar ketukan di pintu kamarku. Berkali-kali aku mengerjap-ngerjapkan mataku agar terbuka. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai di jendelaku. Aku berusaha berjalan ke arah pintu kamarku. “Boo! Happy twenty three!” Seru seorang laki-laki dihadapanku sambil meniupkan terompet. Kakakku yang menyebalkan. Aku menghela nafas dan kembali menyeret kakiku menaiki tempat tidurku. “Kei! Ayolah!” Serunya menarik selimut yang menutupi badanku. Aku menggeliat dan menariknya lagi. “Jangan ganggu, Chan!” Teriakku. “Kamu nggak seru.” ucapnya sambil tersenyum merengut. Aku mendengus kesal. “Kei..” Chandra duduk disampingku dan membelai rambutku. Mau tidak mau aku membuka mata. Aku menatapnya, masih sambil merengut. “Ayolah.. Sehari bersamaku kan tidak sering terjadi..” Ujarnya memelas. “Yeah, right” kataku skeptis. “Kei… Kumohon…” Ujarnya lagi sambil memberiku tatapan super menyedihkan, atau, menjijikkan? “Baiklaaaaah” kataku menyerah. Chandra memelukku dengan erat. Erat sekali sampai aku hampir kehabisan nafas. “Yah, kayak kamu ada rencana aja hari ini.” Ujarnya menggodaku. Aku menghujaninya dengan cubitan. Dia menyerah dan meminta maaf, kemudian mencium keningku lagi dan pergi keluar kamar. Dengan malas aku melangkahkan kaki ke kamar mandi, sehari ini saja aku keluar rumah tidak apa kan, Dam?, batinku.

Chandra mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali aku berteriak, memohon padanya, bahkan mengancam akan melompat, tapi tidak digubrisnya. Salah satu dari kado untukku, katanya sambil tertawa-tawa. Jalanan kotaku ini tidak begitu padat seperti ibukota, memang. Tapi tetap saja, kalau tidak hati-hati akan celaka. Ah, kalau dibandingkan Adam, walaupun dia akan membuka kaca mobilnya untuk sesekali merokok, dia akan berjalan dengan santai. Angin akan menghembus pelan mengenai wajahku, rambutku akan tertiup oleh angin dan akan berantakan. Begitu juga dengan Adam. Dan kemudian dia akan menyenandungkan lagu buatannya, “hey come here wind. Blow our hair and drift us part. But you know wind, we still be together”. Aku tertawa mengingat tingkah laku Adam. Betapa aku merindukannya. Setelah sampai di tempat yang dituju, Chandra segera memarkirkan mobilnya dan membuka pintu mobilku. “Silahkan, tuan putri.” Ucapnya berusaha sok manis. Aku tertawa kecil, mengingat bagaimana Adam selalu memperlakukanku seperti itu. Aku menggandeng tangan Chandra dan masuk ke sebuah restoran seafood kesukaanku dan Adam. Begitu masuk, sudah ada band yang memainkan musik selamat ulang tahun dan di dalam sudah ada balon-balon berterbangan. Au tertawa bahagia, Chandra menyiapkan ini semua untukku. Sesampainya di meja yang sudah disiapkan, beberapa pelayan mengantar makanan dan minuman untuk kami. Kepiting lada hitam, cumi goreng tepung, cah kangkung, dan minuman kesukaanku dan Adam, es teh lemon. Aku hanya bisa terpana melihat semua sudah disiapkan oleh Chandra, iya, Chandra yang selalu menyebalkan, terkadang bisa juga menjadi semanis ini. Selesai makan, aku yang sangat kekenyangan berbisik pada Chandra, “Terimakasih”. Chandra menggelengkan kepalanya dan berkata, “belum selesai.”. Aku menatapnya dengan sedikit bingung. Kemudian datang pelayan dengan membawa dua buah piring berisikan kue dan diatasnya ada sebuah lilin, angka dua dan tiga. Aku tertawa sambil melihat ke arah Chandra. Dengan sombongnya dia mengangkat alisnya dan tersenyum. “Buat permohonan.” Kata Chandra ketika piring kecil berisi kue itu ditaruh di depanku. Aku memejamkan mata dan kemudian meniupnya. Para pemain band dan beberapa pelayan bertepuk tangan. Diiringi juga beberapa orang yang makan disana. Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum sebagai tanda terimakasih. “Apa permohonanmu?” Tanya Chandra sebelum menyendokkan potongan kue ke dalam mulutnya. “Rahasia.” Kataku sok misterius. Chandra mendengus kesal. “Bahagia, Chan.” Kataku menatapnya, seolah berkata pada Adam dihadapanku. Sekilas, yang kulihat memang Adam, bukan Chandra. Hari ini diawali dengan kebahagiaan, Dam. Chandra mengangguk dan tersenyum senang.

Ada

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ketika melewati rumahmu. Aku tahu kamu ada di dalam, karena lampu kamar tidurmu masih menyala. Sempat aku melirik dan melihat bayanganmu di jendela. Aku membuang muka dan berpura-pura sibuk dengan handphoneku. Jalanan perumahan kita memang sedikit gelap, dan aku memang harus melewati rumahmu untuk sampai ke rumahku yang berada di ujung blok. Ketika berhasil melewati rumahmu dengan selamat, aku memperlambat langkah kakiku dan menetralkan deru nafasku. Kumasukkan handphone ke dalam saku celanaku dan memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong jaketku. Hawa dingin menyeruak, jangan hujan, batinku sambil memandangi langit. Dan aku mendengarnya. Langkah kaki selain langkah kakiku. Takut tentu saja, tapi aku harus bersikap pura-pura tidak tahu akan keberadaan orang lain di belakangku. Anggap saja salah satu tetangga, batinku berusaha berpikir positif. Langkah itu semakin dekat, aku sengaja memperlambat langkahku agar orang itu berjalan duluan. Tapi, rupanya orang itu punya pikiran lain, dia juga memperlambat jalannya ketika sejajar denganku. Aku melirik dan menyadari kalau orang itu adalah kamu.

“Kenapa?” Tanyaku datar dan berusaha mempercepat langkahku.

“Mengantarmu saja.” Jawabmu dan mengikuti langkahku. kami berjalan dalam diam.

“Sampai sini saja.” Ucapku lagi ketika tinggal satu rumah lagi sebelum rumahku. Kamu menghentikan langkahmu dan mengangguk.

“Terimakasih.” Ucapku dan pergi meninggalkanmu. Aku tahu kamu masih berdiri disana dan menungguku menghilang masuk ke dalam rumah. Aku tahu kalau aku berbalik badan, kamu masih akan berdiri disana dan akan melambaikan tanganmu dan tersenyum. Aku menaiki tangga menuju pintu rumahku, memutar gagang pintu dan masuk ke dalam rumah. Dah, ucapku dalam hati sambil menutup pintu.

 

“Arani!” Seru seseorang di seberang jalan. Aku yang sedang berolahraga pagi menghentikan langkahku. Gadis itu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku hanya melambaikan tanganku padanya dan hendak melanjutkan olahragaku. Tapi, gadis itu menggeakkan tangannya lagi, mengarahkan supaya aku pergi ke arahnya. Sebenarnya aku tidak ingin, tapi semakin bersemangat dia menggerakkan tangannya, menyuruhku untuk mampir. Aku menghela nafas dan tersenyum ke arahnya, entah dia melihatnya apa tidak. Dengan berat hati aku melangkahkan kakiku ke rumahnya. Sesampainya di depan pagar dia langsung memelukku, padahal aku baru saja berlari mengelilingi blok.

“Ah, Rani. Lama sekali tidak melihatmu.” Ucap gadis itu seraya melepaskan pelukannya. Aku hanya tersenyum. Dua minggu aku punya urusan yang harus diselesaikan di luar kota.

“Yah, banyak yang harus aku kerjakan.” Kataku. Klise. Gadis itu hanya tersenyum, tampak memahamiku.

“Bagaimana kabarmu, Ran?” Tanya gadis itu. Ah tampaknya dia tidak akan berhenti kalau aku tidak mengakhirinya.

“Sehat. Kata ibuku kamu sudah hamil, ya May? Selamat.” Udapku tulus. Berusaha memfokuskan pembicaraan pada dia.

“Iya, Ran. Baru empat minggu ini. Jadi masih kecil.” Katanya sambil mengelus-elus perutnya. Aku memalingkan wajahku ke sebelah rumah Maya. Rumahmu. Aku melihat siluet seseorang dari kamarmu, mungkin kamu, batinku.

“May, aku harus melanjutkan perjalanan lagi.” Kataku pamit. Maya yang tampak belum puas bercerita padaku sedikit kaget, dia menolehkan kepalanya ke rumahmu.

“Baiklah kalau begitu, Ran. Kita bisa melanjutkan ngobrolnya lain kali.” Kata Maya. Aku mengangguk dan melambaikan tanganku. Maya melakukan hal yang sama, melambai padaku. Aku melirik ke rumahmu. Lagi-lagi siluet di jendela. Aku memasang headset ke telingaku dan mulai berlari, sesuai irama lagu, pelan dan santai.

 

“Arani. Sejak kemarin kok ibu lihat kamu tidak kemana-mana?” tanya ibuku sambil menuangkan teh panas di gelas-gelas yang berada di atas meja makan. Aku hanya mengangkat bahu sebagai respon dari pertanyaan ibu. Aku menyusun piring-piring sesuai urutan kursi.

“Ayolah Rani. Kamu tidak bisa melarikan diri terus. Kamu juga harus kembali bersosialisasi lagi.” kata ibuku. Aku masih sibuk menyusun sendok dan garpu. Ibuku menungguku berbicara, menatapku.

“Kemarin kan Rani sudah mulai melakukan rutinitas yang sama seperti dulu, bu. Kemarinnya lagi Rani pulang jalan kaki, tidak diantar taksi sampai rumah. Bertahap, bu.” jawabku sambil menata lagi alat makan. Ibuku mengangkat piring berisi mendoan dan tahu bakso. Aku membantu beliau dan mengangkat teko yang berisikan susu dan menaruhnya di meja. Ibuku beristirahat dengan mendudukkan dirinya di salah satu kursi di dekatnya. Aku mengangkat piring berisi buah-buahan ke atas meja. Ibu menyuruhku untuk duduk di hadapannya, aku pun menurutinya.

“Arka kan sudah pergi tiga bulan, Ran. Berhentilah memikirkannya. Arka sudah bersama Tuhan. Kamu harus mampu melepasnya, Rani. Kamu harus terus hidup.” ucap ibuku sambil memegang tanganku.

“Ini semua nggak ada hubungannya dengan Arka, bu. Lagipula, memangnya Tuhan itu ada? Kalau Tuhan ada, mana mungkin Tuhan mengambil Arka. Tuhan harusnya menjaganya.” kataku dengan penuh emosi. Kalau mengenai kamu, aku selalu punya jawaban, Ka.

“Arani! Kamu tidak boleh berbicara seperti itu! Tuhan Maha Mendengar!” sahut ibuku, juga dengan penuh emosi.

“Ibu nggak ngerti! Arka itu bagian dari hidup Rani, bu. Arka itu teman baik, Rani. Ibu nggak ngerti karena bukan ibu yang mengalaminya.” mataku sudah tergenang oleh air mata. Sudah hampir tiga bulan ini aku tidak menangisimu, Ka. aku beranjak dari dudukku dan berlari menuju kamarku. Aku mengunci kamarku dan mengelap airmata yang membasahi pipiku. Aku melihat ke arah jendela, kamu berdiri tepat di depan rumahku, menatapku dengan penuh kesedihan. Aku tersenyum kecut. Padahal kamu masih ada disini ya, Ka. Mengapa semua orang menganggapmu tidak ada? Ah, maafkan aku, Ka, bisikku pelan. Aku menutup jendela kamarku dan menutup tirainya.

Boss

Aku melihat awan-awan gelap memenuhi langit. Mau hujan, pikirku. Aku segera berlari mencari tempat berlindung. Beberapa rumah yang kulewati pagarnya sangat tinggi dan tertutup rapat. Bunyi petiryang bersahut-sahutan menakutiku. Sedikit bergidik, kemudian aku meneruskan perjalananku mencari sebuah tempat berlindung. Ah, aku melihat sebuah rumah berwarna hijau yang pagarnya terbuka sedikit. Memberanikan diri aku masuk ke dalam garasi rumah itu. Beberapa kendaraan melaju kencang, tidak ingin kehujanan. Awalnya aku duduk di pinggir dekat pagar. Tapi hujan akhirnya turun dengan derasnya dan tanpa ampun, membuatku harus sedikit bergeser agar tidak terkena tetesan hujan. Makin lama aku bergeser sampai di pojokan, dekat dengan jendela. Aku duduk dengan santai sambil melihat air hujan jatuh ke tanah. Lama kelamaan mataku tertutup, mengantuk.

Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang sedang membuka kunci pintu. Aku membuka mataku dan dari dalam rumah tersebut keluar seorang gadis berambut panjang sebahu. Gadis itu membawa kantung-kantung plastik, yang aku tahu betul itu adalah sampah. Hujan sudah berhenti, entah sudah berapa lama aku tertidur di garasi rumah ini. Sangat nyaman. Aku mengarahkan pandanganku pada gadis itu, sekarnag, dia yang ganti menatapku. Gawat, pikirku. Gadis itu tersenyum dan menyapaku,

“Hai.”

Aku tidak mengeluarkan suara, perlahan aku mengangkat badanku. Gadis itu tidak bergerak sedikit pun.

“Jangan takut. Siapa namamu?” Tanya gadis itu masih tetap mengajakku berbicara. Aku berjalan mundur, takut dia akan mendekatiku.

“Hei, tunggu!” seru gadis itu yang sekarang memakai alas kakinya untuk berjalan mendekatiku. Takut, aku langsung berlari keluar dari celah pagar. Gadis itu itu berusaha mengejarku. Aku berlari dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Ketika aku rasa aku cukup jauh darinya, aku bersembunyi dibalik pagar beton di sebuah tanah lapang. Aku sedikit terengah-engah. Syukurlah gadis itu tidak mengejarku sampai sejauh ini, pikirku. Aku berjalan dan duduk di dekat batu besar di tanah lapang itu. Perutku berbunyi. Lapar.

Pagi ini aku berjalan-jalan lagi di daerah kemarin. Sedikit was-was kalau gadis itu melihatku lagi. Perutku kembali berbunyi. Ah, sejak kemarin malam aku tidak menemukan makanan. Dengan lemas aku berjalan dan beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk duduk di atas  undakan di dekat sebuah pohon. Kendaraan bermotor berlalu-lalang di depanku. Kulihat seseorang membuka pagar rumah yang kemarin aku datangi. Dengan cepat aku turun dari undakan agar dia tidak bisa melihatku. Aku bersembunyi di balik dinding di sebelah rumahnya. Sebuah mobil keluar dan gadis itu menutup pagarnya lagi, kemudian membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil. Mobil itu berjalan pelan. Aku keluar dari persembunyianku. Ah, tampaknya gadis itu pergi. Aku duduk di undakan lagi, perutku sudah tidak bisa ditolerir. Lapar sekali. Kemudian seseorang dengan motornya berhenti di dekatku. Lagi-lagi aku memasang posisi waspada.

“Jangan takut. Aku hanya mau memberimu makanan.” Ujarnya. Orang itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantung plastik yang digantungnya di motor. Dia memberiku sebungkus makanan. Aku masih memasang ancang-ancang untuk pergi.

“Tenang saja. Aku akan pergi sekarnag. Makanlah.” Lanjut orang itu sambil menyalakan mesin motornya. Aku melihatnya dengan waspada, dan kemudian dia melambai kepadaku dan berlalu. Aku mengendus bungkusan yang diberikannya padaku. Ah, baunya sangat lezat. Kuputuskan untuk segera memakannya sebelum aku mati kelaparan. Tampaknya Tuhan masih menyayangiku.

Siang begitu terik, tidak seperti kemarin. Hari ini panas sekali. Aku masih saja mengeluh, ah namanya juga makhluk hidup. Maafkan aku, Tuhan. Aku berjalan-jalan dan mencari tempat berteduh. Satu-satunya tempat yang enak adalah rumah itu. Aku berjalan perlahan. Gadis itu masih tidak ada tampaknya. Aku masuk ke dalam rumah itu dan duduk lagi di pojokan garasinya. Tidak apa-apa lah. Aku akan beristirahat disini sebentar saja, sampai dia pulang. Baru aku hendak menutupkan mataku, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah.

“Pippo!” seru suara seseorang. Itu tampak suara gadis itu. Ah bukannya tadi dia pergi? Aku mengambil ancang-ancang untuk pergi, tapi kemudian aku melihat sesosok bayangan. Siapa itu. Aku maju perlahan dan aku melihat seekor kucing berwarna putih, dengan bulu yang lebat dan bersih. Kucing itu menatapku dengan mata kuningnya.  Perlahan dia mendekatiku, aku meninggikan badanku. Suara langkah kaki menuju ke arah kami sanagat jelas terdengar. Ah, gadis yang kemarin. Perhatianku teralih padanya. Kucing putih itu makin mendekatiku. Aku mundur perlahan-lahan.

“Eh, Pippo. Jangan ganggu.” Larang gadis itu. Kucing itu tidak mau mendengarku. Aku meninggikan badanku, membuat agar kucing itu takut. Tapi dia tidak bergeming. Malah, dia ingin semakin mendekatiku. Dengan kesal aku membuat suara geraman. Kucing itu tidak takut, dia malah membalas geramanku. Kucing itu berusaha mencakarku, tapi aku dengan cepat mengelak. Gadis itu buru-buru mendekati kami, tapi, kucingnya sudah lebih cepat dan menerjangku.

“Pippo!” seru gadis itu memanggil namanya. Aku melakukan perlawanan terhadap kucing itu. Bulu-bulunya rontok, dia masih sok jagoan. Aku sangat kesal melihatnya. Tepat ketika kami berdua bersama-sama menggeram, dan siap untuk menyerang, gadis itu tiba-tiba melompat di antara kami berdua. Terlambat, aku melukainya dengan cakarku. Tangannya mengeluarkan darah segar. Kucingnya marah padaku, menggeram dan siap menerkamku. Aku berlari keluar dari rumahnya. Sebelumnya aku mengintip adis itu. Dia terduduk di garasi sambil memegang tangannya. Oh, maafkan aku. Tuhan maafkan aku. Aku berlari menjauh.

Sudah beberapa hari ini aku tidak melewati rumah gadis itu. Aku merasa bersalah telah menyakitinya. Apa yang harus aku lakukan? Apa dia tidak apa-apa? Hari ini aku memutuskan untuk melihat gadis itu. Aku melewati  lingkungan rumahnya. Berjalan perlahan. Ketika sampai di depan rumah gadis itu, aku berhenti sejenak. Mobilnya sudah tidak ada. Aku memasuki halaman rumah itu. Aku tidak berani berjalan ke arah belakang, tempat darimana kucing itu muncul. Aku menunggu gadis itu keluar, sampai aku tertidur. Aku mendengar suara pintu terbuka. Gadis itu muncul dengan beberapa kantung sampah. Ah, aku teringat pertama kali aku bertemu dengannya. Gadis itu meilhat ke arahku dan kemudian tampak kaget. Ah, pasti dia takut padaku.

“Hei, tunggu ya.” Ucap gadis itu dan kembali lagi ke dalam rumahnya. Tidak berapa lama gadis itu keluar lagi membawa dua buah mangkuk kecil. Dia memakai alas kakinya dan berjalan ke arahku. Aku mundur sedikit, takut menyakitinya.

“Ini, makanan buat kamu. Aku mau kasih makanan kering, tapi mungkin kamu nggak doyan ya. Yang basah aja ya. Dan ini susunya.” Kata gadis itu sambil menaruh kedua mangkuk kecil itu di depanku. Kulihat tangannya yg terkena cakarku sudah dibalut dengan perban. Gadis itu tersenyum dan kembali mengangkat kantung-kantung plastiknya. Membuangnya ke depan rumahnya. Selesai dia membuang sampah-sampahnya, dia menghampiriku dengan jarak yang jauh.

“Dikenyangin ya.” Kata gadis itu sambil tersenyum. Kemudian dia masuk ke dalam rumah. Aku mengendus-endus kedua mangkuk di hadapanku. Tampak lezat. Tuhan, gadis itu mengapa gadis itu tidak marah kepadaku? Aku kan sudah menyakitinya. Ah, terimakasih Tuhan, atas kebaikan yang kau berikan. Aku melahap makanan dan susu di hadapanku. Selesai makan aku mengeong-ngeong, hingga gadis itu keluar.

“Sudah selesai?” tanyanya. Aku menjawabnya dengan meonganku. Gadi itu tersenyum lagi. Aku mengeong untuk terakhir kalinya dan kemudian berjalan keluar pagar rumahnya.

“Hati-hati, Boss.” Katanya sambil melambai kepadaku.

Sepatu Vina

Vina menghentak-hentakkan kakinya di semen, di bawah tempat duduknya. Bibirnya dikatupkan rapat-rapat, matanya melihat ke jalanan dengan tajam. Keringat menetes dari wajahnya. Beberapa temannya melewatinya begitu saja, tanpa menyapa. Beberapa malah menertawakan Vina. Menyebalkan. Ini semua salah Mela dan teman-temannya, atau lebih tepat Mela dan anak buahnya. Vina menghela nafas dan mengelap keringatnya dengan tangannya. Vina menatap ke bawah, melihat sepatunya. Padahal tidak ada yang salah dari sepatunya, berwarna hitam, sesuai dengan aturan sekolah. Tapi Mela tidak bisa tidak mengejeknya. Vina mengkerucutkan bibirnya dan mengingat-ingat kejadian tadi pagi.

“Dih, sepatunya. Mau konser?” ejek Mela ketika Vina melewatinya saat berjalan menuju kantin. Kontan saja anak buah Mela tertawa dan menunjuk-nunjuk Vina. Vina yang berjalan dengan teman sebangkunya, Ratna, memutuskan untuk tidak menghiraukan ejekan Mela dan teman-temannya.

“Ya nggak mungkin lah, Mel. Suara dia aja nggak ada.” Tambah teman Mela dan diiringi dengan tawa mereka yang dibuat-buat, menyebalkan. Setelah selesai membeli jajan di warung, Via danRatna melewati gerombolan Mela lagi. Kali ini, Mela sengaja menjulurkan kakinya ketika Vina berjalan, sehingga Vina kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke tanah. Mela dan teman-temannya makin tertawa dengan nyaring. Diikuti pula oleh beberapa grup anak laki-laki. Ratna membantu Vina berdiri dan ikut membersihkan tanah-tanah yg menempel di baju Vina. Sesekali vina melirik kesal pada Mela. Seandainya saja dia diizinkan untuk menunjukkan kemampuan karatenya, pasti Mela sudah tidak mengganggunya lagi. Vina dan Ratna kemudian berjalan menuju kamar mandi, membersihkan kotoran yang masih menempel. Sewaktu masuk kelas pun, Mela dan teman-temannya masih saja menyebarkan gossip bahwa Vina terjatuh dan sepatunya membuatnya tampak seperti penyanyi. Beberapa anak yang takut akan Mela dan gengnya, tertawa dibuat-buat. Padahal mereka selalu bertanya pada Vina tentang pelajaran yang sulit. Vina hanya menatap mereka dengan kesal dan berjalan perlahan menuju mejanya. Vina menjalani hari dengan kesal pada Mela dan gengnya.

Panas mulai menyengat, Vina makin berkeringat. Vina memutuskan untuk membeli es di Mang Abi di dekat pohon besar di tempat parkir. Kenapa papa terlambat menjemput Vina sih, gerutunya dalam hati. Sudah hampir dekat, Vina melihat bis jemputan fasilitas sekolahnya masih ada di parkiran. Vina memelankan langkahnya, Vina mencari orang yang Vina hafal. Gadis berambut pendek seleher, selalu memakai bando, suaranya yang selalu nyaring agar semua orang bisa mendengarnya, Mela. Dan, Vina melihatnya tepat berada di Mang Abi. Vina menghela nafas. Ah, padahal hari ini sangat panas dan es Mang Abi sangat menyegarkan. Tapi Vina males kalau harus berurusan lagi dengan Mela dan gengnya. Pilihan berat, pikir Vina. Vina memutuskan untuk menunggu papanya di dalam sekolah, tempat dia biasa menunggu. Tapi Vina melihat Aldi berjalan menuju arahnya.

“Kamu belum dijemput, Vin?” tegur Aldi. Vina menggeleng. Aldi adalah tetangga Vina. Mereka sangat akrab, tapi ketika kenaikan kelas lima, Aldi suka berubah. Kadang kalau di sekolah Aldi suka ikut mengganggu Vina. Tapi kalau sudah di rumah, Aldi akan baik sekali sama Vina. Mungkin karena di sekolah Vina selalu digoda karena terlalu akrab dengan Aldi.

“Kamu gak beli es Mang Abi?” Tanya Aldi lagi. Vina melirik ke sana, Mela dan gengnya masih disana.

“Ayo bareng aku” ajak Aldi. Tumben Aldi baik, pikir Vina. Ini kan masih di sekolah.

“Gak ah Di. Ada si Mela sama teman-temannya.” Vina menolak. Aldi melihat ke tempat Mang Abi.

“Gak papa, ada aku.” Kata Aldi meyakinkan. Vina ragu, tapi tampaknya es Mang Abi memanggill-manggilnya. Vina mengangguk dan mengikuti Aldi. Beberapa anak laki-laki menyoraki mereka dari dalam bis. Aldi cuek saja, tapi Vina tahu, Aldi pasti merasa terganggu. Mela melihat ke arah mereka berdua dengan kesal.

“Mang, esnya dua ya!” ucap Aldi pada Mang Abi. Mang Abi mengangguk dan segera membuatkan es untuk mereka. Vina gelisah. Sorakan anak laki-laki makin berisik.

“Aldi, kamu kok mau sih temenan sama dia?” Tanya Mela tiba-tiba.

“Memang kenapa?” Tanya Aldi balik. Mela gelagapan mencari jawaban.

“Kamu suka ya sama Vina?” ucap Mela. Vina menatap Mela dengan kesal. Dia ini tidak bisa diam. Mang Abi memberikan sebungkus esnya kepada Vina dan satu lagi pada Aldi. Vina mengeluarkan uangnya untuk membayar, tapi Aldi lebih cepat dan membayarnya untuk Vina.

“Makasih Di.” Bisik Vina dan kemudian Vina berjalan menuju sekolah. Aldi berusaha menyusl Vina tapi Mela menahannya.

“Aku lebih suka temenan sama Vina soalnya dia baik dan pinter. Nggak kayak kamu, sukanya mengejek orang lain.” Kata Aldi kesal. Mela dan temen-temennya terdiam. Aldi berlari mengejar Vina. Vina menoleh dan sedikit kaget melihat Aldi. Mereka berjalan bersebelahan.

“Kamu nggak takut diomongin sama mereka?” Tanya Vina polos. Aldi menggeleng.

“Jadi aku boleh ngomong sama kamu lagi di sekolah?” Tanya Vina lagi. Aldi tertawa dan mengangguk.

“Kamu nggak pulang naik bis?” Tanya Vina.

“Nggak. Aku tadi menelepon bapakku, minta dijemput.” Jawab Aldi sambil menendang kerikil-kerikil. Vina mengangguk-angguk. “Kenapa ya Mela nggak suka sama aku?” Tanya Vina. Aldi mengangkat bahunya dan menyedot esnya. Vina memandangi sepatunya lagi. Sepatu itu dibelikan oleh mamanya sewaktu mamanya tugas di Jakarta. Vina merasa tidak ada yang salah dengan sepatu itu. Mirip dengan sepatu boots memang, tapi guru jaga setiap pagi pun tidak mempermasalahkannya. Beliau tetap menyuruh Vina masuk kelas, setelah diperiksa. Guru lain pun juga tidak mempermasalahkannya. Tapi kenapa Mela membencinya ya? Mela selalu tidak suka semua yang Vina lakukan atau kenakan semenjak sekolah mereka bergabung. Setiap hari ada saja komentar-komentar jahat Mela kepada Vina, mulai dari rambut Vina, karet kuncir Vina, buku Vina, tas Vina, sepatu Vina, dan masih banyak lagi. Padahal, sebelum sekolah mereka digabung, Vina tidak pernah mengenal Mela. Vina kembali duduk di kursi depan sekolah menunggu papanya. Tapi kali ini Vina ada teman, Aldi.

Airmata Rena (part 3)

“Rena tidak punya pacar, Do” Erik memperjelas. Aku diam, mengerti akan perkataan Erik.

“Jaga dia, Rik. Cuma itu satu pesanku.” Aku berkata. Kemudian aku terbatuk-batuk hebat. Kulihat dengan samar, Erik yang melompat ke arahku, mengambilkan minum. Aku meminumnya, tapi batukku tiak mau berhenti, aku merasa sesak, tidak bisa bernapas. Aku merasa kembali seperti di dalam mimpiku. Ah, Tuhan, kumohon, sampai aku bertemu Rena. Erik memencet bel perawat dan beberapa perawat masuk terburu-buru. Ada teteasan darah keluar dari mulutku. Sial, batinku. Para perawat menyuruh Erik untuk pergi dan menunggu di luar. Sedikit ragu kulihat dia meninggalkan kamarku. Dokterku menyeruak diantara kerumunan perawat itu. Terakhir kali kulihat dia memeriksa komputer dan memegang leherku, tepat sebelum aku kehilangan kesadaran.

Sayup-sayup aku berusaha membuka mata. Kudengar ada suara orang bernyanyi dan memainkan gitar. Suara Rena. “cause after all this time, I’m still into you” senandung Rena. Aku menggerakkan badanku, Rena melihat ke arahku dan tersenyum. Dia menaruh gitarnya dan menghampiriku.

“Sakit?” tanyanya sambil memegang tanganku. Aku menggelengkan kepalaku lemah.

“Tadi aku bertemu teman-teman sekolah kita. Maaf ya.” Ucap Rena. Aku mencoba tersenyum, tapi entahlah apa Rena merasa aku menjijikkan.

“Edo. Mau mengulang tujuh hari kita bersama tidak? Aku tahu ini permintaan egois dan aku tahu bahwa aku harus meminta izin Amanda. Bagaimana meurutmu?” Tanya Rena tiba-tiba. Ah, tidak Rena, bagaimana mungkin aku yang sekarang bisa membuatmu bahagia seperti dulu. Bahkan untuk berjalan pun aku sudah tidak bisa, batinku.

“Bagaimana kalu itu kita jadikan kenangan saja?” kataku pelan. “Kita akan membuat memori baru, tentang kita.” Lanjutku. Rena diam.

“Tujuh hari baru?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dimulai hari ini?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku mengangguk. Rena mengaitkan jari kelingkingnya dan kelingkingku, cara kita berjanji sejak dulu. Terpengaruh film dan komik, mungkin. Rena memelukku yang sedang terbaring, ah, lingkar tangannya bisa merangkulku dengan penuh. Dulu, dia selalu bersusah payah untuk menemukan kedua tangannya ketika memelukku.

Hari pertama, Rena menyanyikanku beberapa lagu sambil bermain gitar. Kemudian dia juga memesan satu kotak donat berisikan dua belas buah donat, dengan satu macam varian saja, donat almond kesukaanku. Rena berada cukup lama, hingga matahari terbenam dan bulan datang menggantikannya. Rena mencium keningku dan memelukku sebelum berpamitan. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin menjagaku di rumah sakit, tapi aku tahu betapa benci Rena dengan rumah sakit. Hari kedua, Rena datang membawa dua tangkai bunga mawar putih. Hal yang sama yang selalu aku lakukan dulu ketika ingin ke rumahnya. Saat ini, dia yang melakukannya untukku. Kemudian Rena bercerita tentang kehidupannya semasa kuliah dan kami banyak berfoto dengan telepon seluler Rena. Setiap waktunya minum obat dan jam makan, Rena akan membantuku dengan menyuapiku. Ah, aku ingat betapa dulu ketika dia sakit aku akan menjaganya di rumahnya dan memasakkan makanan untuknya. Ah, Rena.

Baru hari ketiga kami membuat kenangan baru, tubuhku sudah melemah. Entah karena tidak terbiasa banyak melakukan aktifitas bersama Amanda, dulu ketika dia menjagaku, atau memag sudah waktuku semakin menipis. Di hari ketiga aku tampak menakuti dan mungkin menijikkan bagi Rena. Aku kejang dan batuk darah berkali-kali. Untungnya Erik selalu berada di luar kamar dan siap siaga. Ah, maafkan aku Rena, aku membuatmu takut, batinku. Sore itu setelah beberapa kali kejadian itu berulang, aku hanya bisa berbaring lemah di atas tempat tidur. Aku meminta perawat untuk memeutarnya ke arah jendela, agar aku bisa melihat ornag-orang bermain. Rena duduk diam di sebelahku sambil mengupas apel, buah kesukaannya.

“Maaf ya” kataku pelan. Rena tidak menggubrisnya.

“Rena, maafkan aku” kataku lagi. Kali ini Rena menolehkan wjahnya padaku dan tersenyum.

“Untuk apa minta maaf?” tanyanya sambil memberiku sepotong apel.

“Aku menakutimu tadi” jawabku sambil kemudian menyuapkan potongan apel ke dalam mulutku.

“Untuk apa kamu meminta maaf karena hal itu, Do.  Kamu tidak melakukan kesalahan sama sekali. Hei, bagaimana kalau besok kita bermain disana?” kata Rena.

“Baiklah.” Jawabku. Kami memakan apel bersama-sama, sambil memperhatikan orang-orang di luar.

“Aku sayang kamu” ucap Rena tiba-tiba. Aku menghentikan kunyahanku dan menatapnya. Tidak ada tanda-tanda keraguan dari sorot matanya.

“Aku juga” bisikku pelan. Matahari berusaha menyembunyikan dirinya. Beberapa orang mulai beranjak dari duduknya. Rena berdiri dari kursinya dan mendekatiku, memelukku dan mencium keningku. Terimakasih Tuhan.

Sepeninggal Rena, sepanjang malam aku batuk-batuk. Badanku tampaknya sudah tidak kuat lagi. Nafasku sesak, kepalaku sakit. Rasanya aku ingin berhenti dan mencabut semua selang yang terpasang di tubuhku. Suara Erik terus menggema di telingaku. Ah, mengapa dia berisik sekali.  Aku kehilangan kesadaran sesaat setelah itu. Hari keempat sangat menyengsarakan. Harusnya hari ini aku bersenang-senang dengan Rena, membahagiakannya. Tidak membuatnya mencemaskan keadaanku dari hari ke hari. Tapi hari ini, rasa sakitku seaakan tidak tertahankan lagi. Aku tidak bisa mengontrolnya, kadang saat Rena sedang bercerita, aku mengeluh kesakitan dan memarahinya. Tapi dia menanggapiku dengan tenang dan penuh kasih. Malam ini, Rena bersikeras untuk menjagaku.

“Tapi kamu kan tidak menyukai rumah sakit” kataku sambil menahan sakit.

“Tidak apa. Ada kamu” sangkalnya. Aku sedikit lega tapi aku juga takut tidak bisa memenuhi janjiku padanya. Beberapa  kali aku terbangun karena kesakitan. Rena selalu ada disampingku. berkali-kali aku melihatnya menghapus airmatanya ketika melihatku berteriak kesakitan. Erik selalu memeluknya ketika para perawat datang, berusaha agar Rena tetap tenang.

“Aku sayang kamu” bisikku ketika rasa sakitku sudah dihilangkan dengan penghilang rasa sakit. Rena menggenggam tanganku erat-erat.

“Iya, iya. Sekarang kamu istirahat” katanya sambil tersenyum dipaksakan.

“Rena. Berbahagialah.” pesanku sekali lagi. Saat itu airmata Rena mulai menetes. Makin lama makin deras dan dia memelukku.

“Kamu sudah janji. Kamu sudah janji” katanya berulang-ulang. dan berulang kali itu pun aku mengatakan maaf. Maafkan aku, Rena. Maaf. Aku mencium kening Rena dan membelai kepalanya. Rasanya aku sudah tidak memliki tenaga lagi, gerakanku memelan. Maaf, Rena. Berbahagialah.

-A-

Airmata Rena (part 2)

Aku menemukan diriku sedang berlari dalam gelap. Di dalam sebuah lorong panjang tiada ujungnya. Aku berlari tanpa henti, entah aku berlari dari apa, atau siapa tepatnya. Keringatku mengucur deras, nafasku terengah-engah. Tetapi hawa disini sangat dingin. Kakiku tidak mau berhenti, padahal aku sudah tidak sanggup lagi untuk berlari. Tolong! Teriakku, tapi tidak ada satu orang pun yang datang. Kenapa aku berlari? Apa yang membuatku memutuskan untuk berlari? Kemudian samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Aku menolehkan kepalaku ke segala arah tapi aku tidak menemukan ornag yang memanggilku. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai berkali-kali suara itu masih menggema. Kemudian, aku merasakan kehangatan menjulur ke tubuhku. Suara itu makin terdengar jelas. Renata. Aku tersentak dan membuka mataku. Kulihat Renata dengan wajah yang pucat pasi dan bergelinang airmata berada disampingku. Erik dengan raut wajah yang cemas memandangku dengan sedikit kelegaan. Seorang dokter dan beberapa perawat menyuruh mereka untuk keluar dan mulai memeriksaku.

“Hai.” Sapaku setelah dokter dan perawat-perawat itu memeriksaku. Rena memakai kacamatanya, kurasa untuk menutupi matanya yang sembab. Aku memegang pipinya.

“Aku tidak apa-apa, Rena.” Kataku lagi. Rena mengangguk dan menggenggam tanganku.

“Rena, aku akan membeli kopi. Kamu mau?” Tanya Erik.

“Dia lebih tua darimu, Rik” singgungku. Erik hanya diam.

“Boleh, Rik. Terimakasih.” Jawab Rena. Erik mengangguk dan keluar dari kamarku. Rena menaruk kepalanya di atas tempat tidurku, masih menggenggam tanganku.

“Aku benci rumah sakit” bisik Rena. Aku tahu. Makanya aku sangat tidak ingin kamu melihatku seperti ini, Rena.

“Aku juga tidak menyukainya. Tapi tampaknya ayah dan ibuku menyukainya.” Kataku. Rena masih tidak menunjukkan wajahnya padaku. Aku membelai rambutnya yang kini digerainya dengan tanganku yang satunya.

“Aku takut kamu tadi pergi, Do” kata Rena pelan. Aku menghela nafas. Mungkin aku memang hampir pergi, tadi. Tanpa sentuhan dari Rena, mungkin aku tidak akan tersadar, berlebihan mungkin. Tapi aku berusaha mempercayainya.

“Aku kan sudah janji padamu. Mana berani aku mengingkarinya.” Gombalku. Rena mendengus.

“Kemarin pun kamu berjanji akan menjemputku, tapi kamu membohongiku.” Sindir Rena.

“Iya. Aku tidak boleh keluar, Rena. Kan hanya aku saja yang kurang, selebihnya aku tepati, kan?” ucapku berusaha membela diri. Rena mengangkat wajahnya dan menatapku.

“Justru yang terpenting itu kamunya, bodoh.” Kata Rena. Ah, Renata. Kenapa kamu lakukan hal ini padaku. Mana boleh aku jatuh cinta padamu lagi. Pintu kamarku terbuka, Erik datang membawa dua gelas kopi.

“Jadi, menurutmu aku tidak penting, eh?” ucap Erik menyindir Rena.

“Bukan begitu, Erik. Aku kan sudah berharap Edo yang akan datang menjemputku, tapi dia tidak menepati janjinya. Kamu penting kok, bagaimana aku bisa sampai disini kalau bukan kamu yang menjemputku.” Bela Rena.

“Ng, taksi?” ucap Erik sinis.

“Iya sih. Tapi kan aku tidak tahu kalau Edo berada di rumah sakit. Ah, baiklah, maafkan aku. Aku salah berbicara.” Rena ngambek. Aku tersenyum melihatnya.

“Sudahlah. Kopi, Ren.” Kata Erik sambil menaruh gelas kopi Rena di meja kecil di sebelah kursinya.

“Do. Kalau nanti kamu sudah boleh keluar, kita bisa main di taman itu?” Tanya Rena tiba-tiba. Dia sudah memandang ke jendela kamarku. Rasanya hatiku sedikit sakit, seperti dihantam sebuah palu.

“Ya” ucapku. Rena tersenyum dan meminum kopinya. Tuhan, tolong jaga senyumnya untukku.

Lima hari sudah Renata selalu berada di kamarku. Dan lima hari itu pula aku tidak menemukan Amanda. Entah dia sedang sibuk, atau harus pergi ke luar kota, pokoknya Amanda tidak pernah menjengukku lagi semenjak kedatangan Renata. Renata memang cinta pertamaku, sahabat baikku, tetangga dekat rumahku, dan kuakui, aku lemah saat berhadapan dengannya.

“Rena mana?” tanyaku sambil mencari Rena, berharap kemudian dia akan muncul dari pintu.

“Ada sedikit urusan. Nanti akan menyusul.” jawab Erik malas-malasan. Aku melengos, padahal aku ingin mendengar cerita dari Rena lebih banyak lagi. Bagaimana saat dia berkuliah di luar negeri, bagaimana dengan kehidupannya disana, dan bagaimana dengan laki-laki yang telah memenangkan hatinya. Walaupun di pilihan terakhir itu, aku tahu aku akan sangat sedih jika mendengarnya. Ah, hobiku memang menyakiti diriku sendiri.

“Kamu harus menghentikannya, Do.” kata Erik tiba-tiba. Aku menolehkan kepalaku ke arahnya. Erik sedang membaca buku dan duduk di sofa tempat biasa dia tidur, menjagaku.

“Apa?” tanyaku berusaha tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Erik.

“Rena, Do. Jangan memberinya harapan palsu.” Jawab Erik singkat. Aku menghela nafas panjang. Aku juga tahu akan hal itu.

“Mana mungkin. Kita berdua tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi. Ada Amanda. Dan dia, entahlah, mungkin ada laki-laki dalam hidupnya. Tapi aku mana bisa membiarkan Rena begitu saja. Harus ada yang menjaganya, Rik.” Aku membela diri.

“Tidak ada.” Ucap Erik lagi. Aku melihatnya dengan pandangan bingung.

“Erik, apa maksudmu?” Tanyaku penasaran.