“Rena tidak punya pacar, Do” Erik memperjelas. Aku diam, mengerti akan perkataan Erik.
“Jaga dia, Rik. Cuma itu satu pesanku.” Aku berkata. Kemudian aku terbatuk-batuk hebat. Kulihat dengan samar, Erik yang melompat ke arahku, mengambilkan minum. Aku meminumnya, tapi batukku tiak mau berhenti, aku merasa sesak, tidak bisa bernapas. Aku merasa kembali seperti di dalam mimpiku. Ah, Tuhan, kumohon, sampai aku bertemu Rena. Erik memencet bel perawat dan beberapa perawat masuk terburu-buru. Ada teteasan darah keluar dari mulutku. Sial, batinku. Para perawat menyuruh Erik untuk pergi dan menunggu di luar. Sedikit ragu kulihat dia meninggalkan kamarku. Dokterku menyeruak diantara kerumunan perawat itu. Terakhir kali kulihat dia memeriksa komputer dan memegang leherku, tepat sebelum aku kehilangan kesadaran.
Sayup-sayup aku berusaha membuka mata. Kudengar ada suara orang bernyanyi dan memainkan gitar. Suara Rena. “cause after all this time, I’m still into you” senandung Rena. Aku menggerakkan badanku, Rena melihat ke arahku dan tersenyum. Dia menaruh gitarnya dan menghampiriku.
“Sakit?” tanyanya sambil memegang tanganku. Aku menggelengkan kepalaku lemah.
“Tadi aku bertemu teman-teman sekolah kita. Maaf ya.” Ucap Rena. Aku mencoba tersenyum, tapi entahlah apa Rena merasa aku menjijikkan.
“Edo. Mau mengulang tujuh hari kita bersama tidak? Aku tahu ini permintaan egois dan aku tahu bahwa aku harus meminta izin Amanda. Bagaimana meurutmu?” Tanya Rena tiba-tiba. Ah, tidak Rena, bagaimana mungkin aku yang sekarang bisa membuatmu bahagia seperti dulu. Bahkan untuk berjalan pun aku sudah tidak bisa, batinku.
“Bagaimana kalu itu kita jadikan kenangan saja?” kataku pelan. “Kita akan membuat memori baru, tentang kita.” Lanjutku. Rena diam.
“Tujuh hari baru?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dimulai hari ini?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku mengangguk. Rena mengaitkan jari kelingkingnya dan kelingkingku, cara kita berjanji sejak dulu. Terpengaruh film dan komik, mungkin. Rena memelukku yang sedang terbaring, ah, lingkar tangannya bisa merangkulku dengan penuh. Dulu, dia selalu bersusah payah untuk menemukan kedua tangannya ketika memelukku.
Hari pertama, Rena menyanyikanku beberapa lagu sambil bermain gitar. Kemudian dia juga memesan satu kotak donat berisikan dua belas buah donat, dengan satu macam varian saja, donat almond kesukaanku. Rena berada cukup lama, hingga matahari terbenam dan bulan datang menggantikannya. Rena mencium keningku dan memelukku sebelum berpamitan. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin menjagaku di rumah sakit, tapi aku tahu betapa benci Rena dengan rumah sakit. Hari kedua, Rena datang membawa dua tangkai bunga mawar putih. Hal yang sama yang selalu aku lakukan dulu ketika ingin ke rumahnya. Saat ini, dia yang melakukannya untukku. Kemudian Rena bercerita tentang kehidupannya semasa kuliah dan kami banyak berfoto dengan telepon seluler Rena. Setiap waktunya minum obat dan jam makan, Rena akan membantuku dengan menyuapiku. Ah, aku ingat betapa dulu ketika dia sakit aku akan menjaganya di rumahnya dan memasakkan makanan untuknya. Ah, Rena.
Baru hari ketiga kami membuat kenangan baru, tubuhku sudah melemah. Entah karena tidak terbiasa banyak melakukan aktifitas bersama Amanda, dulu ketika dia menjagaku, atau memag sudah waktuku semakin menipis. Di hari ketiga aku tampak menakuti dan mungkin menijikkan bagi Rena. Aku kejang dan batuk darah berkali-kali. Untungnya Erik selalu berada di luar kamar dan siap siaga. Ah, maafkan aku Rena, aku membuatmu takut, batinku. Sore itu setelah beberapa kali kejadian itu berulang, aku hanya bisa berbaring lemah di atas tempat tidur. Aku meminta perawat untuk memeutarnya ke arah jendela, agar aku bisa melihat ornag-orang bermain. Rena duduk diam di sebelahku sambil mengupas apel, buah kesukaannya.
“Maaf ya” kataku pelan. Rena tidak menggubrisnya.
“Rena, maafkan aku” kataku lagi. Kali ini Rena menolehkan wjahnya padaku dan tersenyum.
“Untuk apa minta maaf?” tanyanya sambil memberiku sepotong apel.
“Aku menakutimu tadi” jawabku sambil kemudian menyuapkan potongan apel ke dalam mulutku.
“Untuk apa kamu meminta maaf karena hal itu, Do. Kamu tidak melakukan kesalahan sama sekali. Hei, bagaimana kalau besok kita bermain disana?” kata Rena.
“Baiklah.” Jawabku. Kami memakan apel bersama-sama, sambil memperhatikan orang-orang di luar.
“Aku sayang kamu” ucap Rena tiba-tiba. Aku menghentikan kunyahanku dan menatapnya. Tidak ada tanda-tanda keraguan dari sorot matanya.
“Aku juga” bisikku pelan. Matahari berusaha menyembunyikan dirinya. Beberapa orang mulai beranjak dari duduknya. Rena berdiri dari kursinya dan mendekatiku, memelukku dan mencium keningku. Terimakasih Tuhan.
Sepeninggal Rena, sepanjang malam aku batuk-batuk. Badanku tampaknya sudah tidak kuat lagi. Nafasku sesak, kepalaku sakit. Rasanya aku ingin berhenti dan mencabut semua selang yang terpasang di tubuhku. Suara Erik terus menggema di telingaku. Ah, mengapa dia berisik sekali. Aku kehilangan kesadaran sesaat setelah itu. Hari keempat sangat menyengsarakan. Harusnya hari ini aku bersenang-senang dengan Rena, membahagiakannya. Tidak membuatnya mencemaskan keadaanku dari hari ke hari. Tapi hari ini, rasa sakitku seaakan tidak tertahankan lagi. Aku tidak bisa mengontrolnya, kadang saat Rena sedang bercerita, aku mengeluh kesakitan dan memarahinya. Tapi dia menanggapiku dengan tenang dan penuh kasih. Malam ini, Rena bersikeras untuk menjagaku.
“Tapi kamu kan tidak menyukai rumah sakit” kataku sambil menahan sakit.
“Tidak apa. Ada kamu” sangkalnya. Aku sedikit lega tapi aku juga takut tidak bisa memenuhi janjiku padanya. Beberapa kali aku terbangun karena kesakitan. Rena selalu ada disampingku. berkali-kali aku melihatnya menghapus airmatanya ketika melihatku berteriak kesakitan. Erik selalu memeluknya ketika para perawat datang, berusaha agar Rena tetap tenang.
“Aku sayang kamu” bisikku ketika rasa sakitku sudah dihilangkan dengan penghilang rasa sakit. Rena menggenggam tanganku erat-erat.
“Iya, iya. Sekarang kamu istirahat” katanya sambil tersenyum dipaksakan.
“Rena. Berbahagialah.” pesanku sekali lagi. Saat itu airmata Rena mulai menetes. Makin lama makin deras dan dia memelukku.
“Kamu sudah janji. Kamu sudah janji” katanya berulang-ulang. dan berulang kali itu pun aku mengatakan maaf. Maafkan aku, Rena. Maaf. Aku mencium kening Rena dan membelai kepalanya. Rasanya aku sudah tidak memliki tenaga lagi, gerakanku memelan. Maaf, Rena. Berbahagialah.
-A-