Boss

Aku melihat awan-awan gelap memenuhi langit. Mau hujan, pikirku. Aku segera berlari mencari tempat berlindung. Beberapa rumah yang kulewati pagarnya sangat tinggi dan tertutup rapat. Bunyi petiryang bersahut-sahutan menakutiku. Sedikit bergidik, kemudian aku meneruskan perjalananku mencari sebuah tempat berlindung. Ah, aku melihat sebuah rumah berwarna hijau yang pagarnya terbuka sedikit. Memberanikan diri aku masuk ke dalam garasi rumah itu. Beberapa kendaraan melaju kencang, tidak ingin kehujanan. Awalnya aku duduk di pinggir dekat pagar. Tapi hujan akhirnya turun dengan derasnya dan tanpa ampun, membuatku harus sedikit bergeser agar tidak terkena tetesan hujan. Makin lama aku bergeser sampai di pojokan, dekat dengan jendela. Aku duduk dengan santai sambil melihat air hujan jatuh ke tanah. Lama kelamaan mataku tertutup, mengantuk.

Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang sedang membuka kunci pintu. Aku membuka mataku dan dari dalam rumah tersebut keluar seorang gadis berambut panjang sebahu. Gadis itu membawa kantung-kantung plastik, yang aku tahu betul itu adalah sampah. Hujan sudah berhenti, entah sudah berapa lama aku tertidur di garasi rumah ini. Sangat nyaman. Aku mengarahkan pandanganku pada gadis itu, sekarnag, dia yang ganti menatapku. Gawat, pikirku. Gadis itu tersenyum dan menyapaku,

“Hai.”

Aku tidak mengeluarkan suara, perlahan aku mengangkat badanku. Gadis itu tidak bergerak sedikit pun.

“Jangan takut. Siapa namamu?” Tanya gadis itu masih tetap mengajakku berbicara. Aku berjalan mundur, takut dia akan mendekatiku.

“Hei, tunggu!” seru gadis itu yang sekarang memakai alas kakinya untuk berjalan mendekatiku. Takut, aku langsung berlari keluar dari celah pagar. Gadis itu itu berusaha mengejarku. Aku berlari dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Ketika aku rasa aku cukup jauh darinya, aku bersembunyi dibalik pagar beton di sebuah tanah lapang. Aku sedikit terengah-engah. Syukurlah gadis itu tidak mengejarku sampai sejauh ini, pikirku. Aku berjalan dan duduk di dekat batu besar di tanah lapang itu. Perutku berbunyi. Lapar.

Pagi ini aku berjalan-jalan lagi di daerah kemarin. Sedikit was-was kalau gadis itu melihatku lagi. Perutku kembali berbunyi. Ah, sejak kemarin malam aku tidak menemukan makanan. Dengan lemas aku berjalan dan beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk duduk di atas  undakan di dekat sebuah pohon. Kendaraan bermotor berlalu-lalang di depanku. Kulihat seseorang membuka pagar rumah yang kemarin aku datangi. Dengan cepat aku turun dari undakan agar dia tidak bisa melihatku. Aku bersembunyi di balik dinding di sebelah rumahnya. Sebuah mobil keluar dan gadis itu menutup pagarnya lagi, kemudian membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil. Mobil itu berjalan pelan. Aku keluar dari persembunyianku. Ah, tampaknya gadis itu pergi. Aku duduk di undakan lagi, perutku sudah tidak bisa ditolerir. Lapar sekali. Kemudian seseorang dengan motornya berhenti di dekatku. Lagi-lagi aku memasang posisi waspada.

“Jangan takut. Aku hanya mau memberimu makanan.” Ujarnya. Orang itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantung plastik yang digantungnya di motor. Dia memberiku sebungkus makanan. Aku masih memasang ancang-ancang untuk pergi.

“Tenang saja. Aku akan pergi sekarnag. Makanlah.” Lanjut orang itu sambil menyalakan mesin motornya. Aku melihatnya dengan waspada, dan kemudian dia melambai kepadaku dan berlalu. Aku mengendus bungkusan yang diberikannya padaku. Ah, baunya sangat lezat. Kuputuskan untuk segera memakannya sebelum aku mati kelaparan. Tampaknya Tuhan masih menyayangiku.

Siang begitu terik, tidak seperti kemarin. Hari ini panas sekali. Aku masih saja mengeluh, ah namanya juga makhluk hidup. Maafkan aku, Tuhan. Aku berjalan-jalan dan mencari tempat berteduh. Satu-satunya tempat yang enak adalah rumah itu. Aku berjalan perlahan. Gadis itu masih tidak ada tampaknya. Aku masuk ke dalam rumah itu dan duduk lagi di pojokan garasinya. Tidak apa-apa lah. Aku akan beristirahat disini sebentar saja, sampai dia pulang. Baru aku hendak menutupkan mataku, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah.

“Pippo!” seru suara seseorang. Itu tampak suara gadis itu. Ah bukannya tadi dia pergi? Aku mengambil ancang-ancang untuk pergi, tapi kemudian aku melihat sesosok bayangan. Siapa itu. Aku maju perlahan dan aku melihat seekor kucing berwarna putih, dengan bulu yang lebat dan bersih. Kucing itu menatapku dengan mata kuningnya.  Perlahan dia mendekatiku, aku meninggikan badanku. Suara langkah kaki menuju ke arah kami sanagat jelas terdengar. Ah, gadis yang kemarin. Perhatianku teralih padanya. Kucing putih itu makin mendekatiku. Aku mundur perlahan-lahan.

“Eh, Pippo. Jangan ganggu.” Larang gadis itu. Kucing itu tidak mau mendengarku. Aku meninggikan badanku, membuat agar kucing itu takut. Tapi dia tidak bergeming. Malah, dia ingin semakin mendekatiku. Dengan kesal aku membuat suara geraman. Kucing itu tidak takut, dia malah membalas geramanku. Kucing itu berusaha mencakarku, tapi aku dengan cepat mengelak. Gadis itu buru-buru mendekati kami, tapi, kucingnya sudah lebih cepat dan menerjangku.

“Pippo!” seru gadis itu memanggil namanya. Aku melakukan perlawanan terhadap kucing itu. Bulu-bulunya rontok, dia masih sok jagoan. Aku sangat kesal melihatnya. Tepat ketika kami berdua bersama-sama menggeram, dan siap untuk menyerang, gadis itu tiba-tiba melompat di antara kami berdua. Terlambat, aku melukainya dengan cakarku. Tangannya mengeluarkan darah segar. Kucingnya marah padaku, menggeram dan siap menerkamku. Aku berlari keluar dari rumahnya. Sebelumnya aku mengintip adis itu. Dia terduduk di garasi sambil memegang tangannya. Oh, maafkan aku. Tuhan maafkan aku. Aku berlari menjauh.

Sudah beberapa hari ini aku tidak melewati rumah gadis itu. Aku merasa bersalah telah menyakitinya. Apa yang harus aku lakukan? Apa dia tidak apa-apa? Hari ini aku memutuskan untuk melihat gadis itu. Aku melewati  lingkungan rumahnya. Berjalan perlahan. Ketika sampai di depan rumah gadis itu, aku berhenti sejenak. Mobilnya sudah tidak ada. Aku memasuki halaman rumah itu. Aku tidak berani berjalan ke arah belakang, tempat darimana kucing itu muncul. Aku menunggu gadis itu keluar, sampai aku tertidur. Aku mendengar suara pintu terbuka. Gadis itu muncul dengan beberapa kantung sampah. Ah, aku teringat pertama kali aku bertemu dengannya. Gadis itu meilhat ke arahku dan kemudian tampak kaget. Ah, pasti dia takut padaku.

“Hei, tunggu ya.” Ucap gadis itu dan kembali lagi ke dalam rumahnya. Tidak berapa lama gadis itu keluar lagi membawa dua buah mangkuk kecil. Dia memakai alas kakinya dan berjalan ke arahku. Aku mundur sedikit, takut menyakitinya.

“Ini, makanan buat kamu. Aku mau kasih makanan kering, tapi mungkin kamu nggak doyan ya. Yang basah aja ya. Dan ini susunya.” Kata gadis itu sambil menaruh kedua mangkuk kecil itu di depanku. Kulihat tangannya yg terkena cakarku sudah dibalut dengan perban. Gadis itu tersenyum dan kembali mengangkat kantung-kantung plastiknya. Membuangnya ke depan rumahnya. Selesai dia membuang sampah-sampahnya, dia menghampiriku dengan jarak yang jauh.

“Dikenyangin ya.” Kata gadis itu sambil tersenyum. Kemudian dia masuk ke dalam rumah. Aku mengendus-endus kedua mangkuk di hadapanku. Tampak lezat. Tuhan, gadis itu mengapa gadis itu tidak marah kepadaku? Aku kan sudah menyakitinya. Ah, terimakasih Tuhan, atas kebaikan yang kau berikan. Aku melahap makanan dan susu di hadapanku. Selesai makan aku mengeong-ngeong, hingga gadis itu keluar.

“Sudah selesai?” tanyanya. Aku menjawabnya dengan meonganku. Gadi itu tersenyum lagi. Aku mengeong untuk terakhir kalinya dan kemudian berjalan keluar pagar rumahnya.

“Hati-hati, Boss.” Katanya sambil melambai kepadaku.