Seruni

Seruni

Seruni adalah gadis manis yang rumahnya tepat di seberang rumahku. Seruni menghabiskan waktunya lebih banyak berada di rumah ketimbang bermain dengan kita, anak-anak seumurannya yang berada dalam satu perumahan yang sama. Seruni memiliki rambut hitam yang panjangnya menutupi punggungnya. Seruni memiliki senyuman yang bisa membuat beberapa orang meleleh, ya, tidak terkecuali aku. Seruni memakai kacamata berbingkai hitam yang selalu bertengger di atas hidungnya. Seruni selalu menjadi topic pembicaraan para lelaki ketika kami berkumpul, baik di rumah, atau di sekolah. Ya, hampir satu perumahan ini bersekolah di sekolah swasta yang terkenal di kota kami. Seruni, selalu ramah pada kami, yang selalu menggodanya. Seruni adalah ‘kembang desa’ kami.

Sore itu Seruni duduk di beranda depan rumahnya, bermain dengan kucing-kucingnya. Dari jendela kamarku, aku bisa melihatnya. Sore ini, rambut panjang seruni diikat kebelakang, ekor kuda. Pintu kamarku terbuka, aku berpura-pura memainkan telepon genggamku.

“Aku hanya ingin meminjam gunting” ucap kakakku. Aku menunjuk ke rak buku di dekatku.

“Ibu menyuruhmu mengantarkan makanan ke rumah Seruni” katanya lagi sebelum menutup pintu kamarku. Aku menjawabnya malas-malasan. Padahal setelah dia menutup pintu kamarku, aku langsung mengganti bajuku dan memakai parfum. Aku keluar kamar dan menuju dapur, tempat ibu berada.

“Wangi banget, Dika” tegur ibuku. Aku Cuma tersenyum sambil mengangkat piring yang sudah disiapkan ibu di atas meja.

“Mau ketemu Seruni, bu” sahut kakakku yang sedang membukus sebuah kado. Aku melirik dan mendengus kesal ke arahnya. Ibuku hanya tertawa mendengarnya, aku yang malu buru-buru ke luar rumah dan menuju ke rumah Seruni.

“Halo Dika” ucap Seruni menyapaku. Sedikit salah tingkah aku tersenyum dan membuka pagar rumah Seruni.

“Ada kue dari Ibuku, Ni.” Kataku. Seruni melangkah maju dan mengambil piring yang kubawa. Tangan kami bersentuhan, ah, halus sekali tangannya, batinku.

“Terimakasih Dika. Sampaikan juga ucapan terimakasihku kepada ibumu dan Kak Ilvie.” Katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Padahal aku yakin kakakku itu tidak membantu ibu.

“Iya, akan aku sampaikan. Kalau begitu aku permisi ya, Ni” ucapku berpamitan.

“Ah, tunggu dulu Dika.” Cegahnya.

“Kalau piringnya nanti saja, Ni” kataku lagi. Seruni tertawa.

“Iya aku tahu. Aku juga belum ada balasan untuk mengisinya. Sudah lama kita nggak ngobrol bareng. Tapi kalau kamu buru-buru  ya nggak apa-apa.” Jawabnya.

“Nggak Ni. Santai malah di rumah” kataku cepat. Seruni tersenyum.

“Aku taruh di dalam dulu ya. Kamu main-main saja dengan mereka.” Kata Seruni.

“Iya Ni” jawabku dan kemudian duduk di kursi yang Seruni duduki tadi. Agak lama aku menunggu Seruni, dan kemudian dia keluar membawa sebuah nampan yang terdapat the hangat di atasnya. Aku berdiri dan membantunya menaruh nampan di atas meja. Seruni tersenyum dan duduk di kursi sebelahku. Kucing-kucing kecil Seruni melompat-lompat di rerumputan.

“Bagaimana keadaan teman-teman?” Tanya Seruni.

“Baik. Ozi sudah kerja, Donny juga. Ruli dan Rizal masih berkutat dengan perkuliahan mereka.” Jawabku. Sudah agak lama memang kami tidak menggoda Seruni. Selain karena sekolah sudah selesai dan masing-masing punya kesibukan, butuh waktu lama untuk berkumpul. Kecuali Ozi dan Donny. Kami masih sering bermain bola bersama di lapangan, duduk-duduk bersantai membicarakan tentang kehidupan, dan Seruni.

“Alhamdulillah. Semua hebat-hebat ya.” Kata Seruni bersyukur. Aku tersenyum. Walaupun kami suka menggoda Seruni, tapi dia tidak pernah memarahi kami. Dia selalu tersenyum ataupun tertawa. Makanya, kami jadi semakin sayang pada Seruni. Bahkan, kami selalu bersatu untuk melindungi Seruni dari laki-laki yang selalu menggodanya.

“Kamu juga hebat Ni. Sebentar lagi akan menjadi dokter dan menikah dengan Raka.” Kataku. Berat rasanya mengungkit hal yang terakhir itu.

“Kalian kan juga sudah mapan, terutama kamu Ozi dan Donny. Oh, diminum tehnya Dika.” Jawab Seruni sambil diiringi senyuman manisnya.

“Soalnya, kita terlambat melamar kamu sih” godaku Seruni tertawa makin lebar. Kulihat kucing-kucing kecil Seruni terlihat lelah dan bersantai di dekat pot bunga ibu Seruni. Kudengar suara motor dari kejauhan, ketika mendekat, pengendara motor itu melihat kea rah kita. Dia melepas helmnya dan melambaikan tangannya.

“Itu Ozi?” Tanya Seruni.

“Iya, Ni” jawabku singkat.

“Halo Seruni” sapa Ozi yang sudah masuk. Seruni tersenyum menyambutnya.  Ozi menaruh helmnya di rerumputan dan duduk di atas rumput.

“Habis pulang kerja, Zi? Biar aku buatkan minuman.” Kata Seruni.

“Eh, nggak usah Ni. Aku Cuma mampir sebentar aja. Pengen lihat kamu” goda Ozi. Aku tersenyum. Seruni juga.

“Kalian ini nggak berhenti ya, menggodaku. Aku barusan bilang ke Dika agar kalian segera menikah juga, tapi Dika malah bilang kalian terlambat melamarku.” Ungkit Seruni. Aku nyengir mendengarnya.

“Terutama Dika, Ni. Dia bakal kesepian nih, nggak ada yang bisa diintip dari kamarnya” ejek Ozi. Sial, batinku. Seruni tertawa lagi. Ah, aku sangat suka senyum Seruni. Matahari sudah mau terbenam. Aku dan Ozi memutuskan untuk pamit.

“Oh iya. Ozi, Dika. Minggu depan, aku mau operasi” kata Seruni sebelum kami meninggalkan rumahnya. Kita berdua menghentikan langkah. Ini operasi besar pastinya, agar Seruni bisa melihat. Ya, kedua mata Seruni tidak bisa melihat sejak lahir. Kacamata yang membingkai matanya hanya agar orang-orang tidak terlalu banyak bertanya, untuk membangkitkan percaya diri Seruni. Selama ini, Seruni selalu mengandalkan indera penciuman dan pendengarannya. Dia selalu hafal wangiku, katanya. Dia hafal motor Ozi. Dia hafal langkah kaki Donny. Begitu juga dengan Ruli dan Rizal. Seruni selalu tahu.

“Kita pasti jadi orang pertama yang akan kamu lihat, Ni” kata Ozi percaya diri. Aku tersenyum. Seruni juga.

“Tapi aku takut Ni” lanjutnya lagi. Seruni menunjukkan ekspresi bingung.

“Aku takut, nanti kamu lebih memilih aku atau Dika atau Donny dibanding Raka, calon suamimu” gombal Ozi. Kami tertawa bersama.

“Terimakasih ya. Untuk selama ini, kalian selalu ada disampingku” kata Seruni. Aku menggigit bibirku. Ozi melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Kalian selalu melindungi aku dan membuatku tertawa. Terimakasih ya atas kebahagian yang kalian berikan. Nanti, giliranku yang melindungi kalian.” Kata Seruni lagi. Kami hanya tersenyum mendengarnya. Kami pamit sekali lagi, Seruni melambaikan tangannya. Ozi naik ke atas motornya, sementara aku menyeberang ke rumahku. Seruni, justru kamulah sumber kebahagiaan kami, batinku.

-A-